Kamis, 27 Desember 2012

MENYUSUN TAX PLANNING BUKAN BERARTI MENGHINDARI PAJAK


Sebuah perusahaan yang melakukan Tax Planning bukan berarti ingin menghindar dari pengenaan pajak melainkan untuk mengetahui kemungkinan pajak yang akan dibayarkan, agar tidak terjadi kelebihan dalam membayar pajak. Lalu tax planning seperti apa yang tidak melanggar undang-undang?
Tax planning adalah upaya menekan jumlah kewajiban pajak dengan cara legal. Di luar negeri-terutama Amerika Serikat-strategi ini sudah cukup dikenal dan hampir semua perusahaan melakukannya.Cara ini cukup efektif dalam rangka melakukan efisiensi dan penghematan.Namun ada sebagian orang berpendapat tax planning bertentangan dengan moral, karena penuh dengan trik-trik (siasat) yang mengarah pada pengelakan pajak.Untuk menutupi tindakan yang cenderung pada tipuan, ada yang menyebutkanbahwa  tax planning hampir sama dengan manajemen pajak.
Bahkan ada yang mengatakan tax planning adalah bagian yang tak terpisahkan dari manajemen pajak.Lalu, adakah tax planning yang legal atau tidak melanggar aturan UU Perpajakan?Pertanyaan ini masih belum bisa dijawab dengan memuaskan.Tetapi paling tidak bisa dijawab "ada", dengan syarat tax planning bertujuan bukan untuk menghindari kewajiban membayar pajak.Dalam tax planning, tujuannya adalah mengatur pembayaran pajak atau meminimalkan kewajiban pajak dengan tidak melanggar aturan yang berlaku. Dengan demikian, pajak yang dibayar tidak lebih dari jumlah yang seharusnya dan tentu saja akan membantu cashflow perusahaan.
Dalam menyusun tax planning yang tidak melanggar aturan pajak, paling-tidak ada lima prasyarat yang harus dipenuhi.
1.       Pertama, mengerti peraturan perpajakan atau peraturan yang terkait.
2.       Kedua, menentukan tujuan yang ingin dicapai dalam tax planning. Dalam menghindari tindakan yang melanggar UU sudah tentu tidak dapat melakukan tax planning untuk menghindari kewajiban perpajakan.
3.       Ketiga, harus dipahami karakter usaha WP. Hampir setiap perusahaan memiliki perbedaan dalam kebijakan maupun perilaku (behavior), dan kebiasaan-kebiasaan. Dengan memahami seluk-beluk usaha akan membantu tax planning.
4.       Keempat, memahami tingkat kewajaran transaksi yang diatur tax planning. Jika tax planning mengabaikan kewajaran akan menimbulkan kesulitan karena adanya kecurigaan dari fiskus. Ini dapat berimplikasi dengan pemeriksaan, karena bisa diindikasikan adanya kecurangan pajak. Fiskus dapat melakukan pemeriksaan bukti permulaan.
5.       Kelima, tax planning harus didukung oleh kebijakan akuntansi dan didukung bukti memadai, seperti faktur, perjanjian, dan sebagainya.


YANG DIPERKENANKAN
Tax planning yang diperkenankan menurut Lumbantoruan (1996:485-486) dapat ditempuh dengan beberapa cara.
1.       Pertama, mencari keuntungan sebesar-besarnya dari pengecualian dan potongan yang diperkenankan. Misalnya, perusahaan dapat mengurangi penerimaan dengan jumlah biaya, misalnya pendidikan, perbaikan kantor, pemasaran dan lain-lain.
2.       Kedua, mengambil keuntungan dari pemilihan bentuk perusahaan yang tepat. Misalnya, jika peredaran bruto satu tahun tidak melebihi Rp600 juta dapat memilih perusahaan perorangan yang akan dikenakan tarif progresif Pasal 17 dengan tarif terendah 5%.
Lalu bentuk usaha perorangan, firma, dan kongsi lebih menguntungkan daripada Perseroan Terbatas (PT). Pajak atas penghasilan PT dikenakan "dua kali", yakni saat penghasilan diperoleh atau diterima dan saat pemilik menerima dividen.
3.       Ketiga, mendirikan perusahaan dalam satu jalur usaha agar dapat diatur penggunaan tarif pajak, potensi penghasilan, kerugian dan aktiva yang bisa dihapus.
4.       Keempat, menyebarkan penghasilan menjadi beberapa tahun untuk mencegah klasifikasi kategori pendapatan yang tarifnya tinggi. Bila memungkinkan, pembayaran pajak bisa ditunda.

YANG DILARANG
Pada umumnya WP telah mengetahui cara memperkecil kewajiban pajak dengan menghindari pajak. Namun hal ini melanggar UU, sehingga tidak dianjurkan dalam tax planning.
Menurut Lumbantoruan, ada beberapa tindakan memperkecil pajak yang melanggar UU:
1.       Pertama, memperkecil penghasilan dengan cara hanya melaporkan sebagian, merendahkan harga jual, memilih menjual kepada pengusaha non PKP (Faktur Pajak Sederhana) agar lebih mudah tidak melaporkan penjualannya.
2.       Kedua, memperbesar harga pokok barang yang dijual dengan cara:
(a) meninggikan harga perolehan,
(b) membuat pembelian fiktif, membuat faktur PPN masukan fiktif
(c) membebankan Pajak Masukan yang telah dikreditkan ke dalam perhitungan harga pokok.
3.       Ketiga, memperbesar beban usaha dengan cara :
(a) membuat utang fiktif, agar dapat membuat beban bunga,
(b) membuat seolah-olah ada pengeluaran (beban fiktif) yang tidak didukung dokumen yang memadai.
4.       Keempat, meninggikan harga impor dari perusahaan yang ada hubungan istimewa di luar negeri.
5.       Kelima, merendahkan harga ekspor kepada perusahaan yang ada hubungan istimewa di luar negeri.
6.       Keenam, merendahkan penghasilan pegawai atau pembayaran lainnya dalam rangka penghitungan PPh Pasal 21, sementara di dalam perhitungan laba-rugi perusahaan ditinggikan untuk merendahkan laba kena pajak (PPh Badan).
7.       Ketujuh, pembayaran dividen kepada pemegang saham secara terselubung seolah-olah pembayaran utang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar