Sebuah perusahaan yang melakukan
Tax Planning bukan berarti ingin menghindar dari pengenaan pajak melainkan
untuk mengetahui kemungkinan pajak yang akan dibayarkan, agar tidak terjadi
kelebihan dalam membayar pajak. Lalu tax planning seperti apa yang tidak
melanggar undang-undang?
Tax planning adalah upaya menekan
jumlah kewajiban pajak dengan cara legal. Di luar negeri-terutama Amerika
Serikat-strategi ini sudah cukup dikenal dan hampir semua perusahaan
melakukannya.Cara ini cukup efektif dalam rangka melakukan efisiensi dan
penghematan.Namun ada sebagian orang berpendapat tax planning bertentangan
dengan moral, karena penuh dengan trik-trik (siasat) yang mengarah pada pengelakan
pajak.Untuk menutupi tindakan yang cenderung pada tipuan, ada yang menyebutkanbahwa
tax planning hampir sama dengan
manajemen pajak.
Bahkan ada yang mengatakan tax
planning adalah bagian yang tak terpisahkan dari manajemen pajak.Lalu, adakah
tax planning yang legal atau tidak melanggar aturan UU Perpajakan?Pertanyaan
ini masih belum bisa dijawab dengan memuaskan.Tetapi paling tidak bisa dijawab "ada",
dengan syarat tax planning bertujuan bukan untuk menghindari kewajiban membayar
pajak.Dalam tax planning, tujuannya adalah mengatur pembayaran pajak atau
meminimalkan kewajiban pajak dengan tidak melanggar aturan yang berlaku. Dengan
demikian, pajak yang dibayar tidak lebih dari jumlah yang seharusnya dan tentu
saja akan membantu cashflow perusahaan.
Dalam menyusun tax planning yang
tidak melanggar aturan pajak, paling-tidak ada lima prasyarat yang harus
dipenuhi.
1.
Pertama, mengerti peraturan
perpajakan atau peraturan yang terkait.
2.
Kedua, menentukan tujuan yang
ingin dicapai dalam tax planning. Dalam menghindari tindakan yang melanggar UU
sudah tentu tidak dapat melakukan tax planning untuk menghindari kewajiban
perpajakan.
3.
Ketiga, harus dipahami karakter
usaha WP. Hampir setiap perusahaan memiliki perbedaan dalam kebijakan maupun
perilaku (behavior), dan kebiasaan-kebiasaan. Dengan memahami seluk-beluk usaha
akan membantu tax planning.
4.
Keempat, memahami tingkat
kewajaran transaksi yang diatur tax planning. Jika tax planning mengabaikan
kewajaran akan menimbulkan kesulitan karena adanya kecurigaan dari fiskus. Ini
dapat berimplikasi dengan pemeriksaan, karena bisa diindikasikan adanya
kecurangan pajak. Fiskus dapat melakukan pemeriksaan bukti permulaan.
5.
Kelima, tax planning harus
didukung oleh kebijakan akuntansi dan didukung bukti memadai, seperti faktur,
perjanjian, dan sebagainya.
YANG DIPERKENANKAN
Tax planning yang diperkenankan
menurut Lumbantoruan (1996:485-486) dapat ditempuh dengan beberapa cara.
1.
Pertama, mencari keuntungan
sebesar-besarnya dari pengecualian dan potongan yang diperkenankan. Misalnya,
perusahaan dapat mengurangi penerimaan dengan jumlah biaya, misalnya
pendidikan, perbaikan kantor, pemasaran dan lain-lain.
2.
Kedua, mengambil keuntungan
dari pemilihan bentuk perusahaan yang tepat. Misalnya, jika peredaran bruto
satu tahun tidak melebihi Rp600 juta dapat memilih perusahaan perorangan yang
akan dikenakan tarif progresif Pasal 17 dengan tarif terendah 5%.
Lalu bentuk usaha perorangan, firma, dan kongsi lebih menguntungkan daripada Perseroan Terbatas (PT). Pajak atas penghasilan PT dikenakan "dua kali", yakni saat penghasilan diperoleh atau diterima dan saat pemilik menerima dividen.
Lalu bentuk usaha perorangan, firma, dan kongsi lebih menguntungkan daripada Perseroan Terbatas (PT). Pajak atas penghasilan PT dikenakan "dua kali", yakni saat penghasilan diperoleh atau diterima dan saat pemilik menerima dividen.
3.
Ketiga, mendirikan perusahaan
dalam satu jalur usaha agar dapat diatur penggunaan tarif pajak, potensi
penghasilan, kerugian dan aktiva yang bisa dihapus.
4.
Keempat, menyebarkan penghasilan
menjadi beberapa tahun untuk mencegah klasifikasi kategori pendapatan yang
tarifnya tinggi. Bila memungkinkan, pembayaran pajak bisa ditunda.
YANG DILARANG
Pada umumnya WP telah mengetahui
cara memperkecil kewajiban pajak dengan menghindari pajak. Namun hal ini
melanggar UU, sehingga tidak dianjurkan dalam tax planning.
Menurut Lumbantoruan, ada beberapa tindakan memperkecil pajak yang melanggar UU:
Menurut Lumbantoruan, ada beberapa tindakan memperkecil pajak yang melanggar UU:
1.
Pertama, memperkecil
penghasilan dengan cara hanya melaporkan sebagian, merendahkan harga jual, memilih
menjual kepada pengusaha non PKP (Faktur Pajak Sederhana) agar lebih mudah
tidak melaporkan penjualannya.
2.
Kedua, memperbesar harga pokok
barang yang dijual dengan cara:
(a) meninggikan harga perolehan,
(b) membuat pembelian fiktif, membuat
faktur PPN masukan fiktif
(c) membebankan Pajak Masukan yang telah
dikreditkan ke dalam perhitungan harga pokok.
3.
Ketiga, memperbesar beban usaha
dengan cara :
(a) membuat utang fiktif, agar dapat
membuat beban bunga,
(b) membuat seolah-olah ada pengeluaran
(beban fiktif) yang tidak didukung dokumen yang memadai.
4.
Keempat, meninggikan harga
impor dari perusahaan yang ada hubungan istimewa di luar negeri.
5.
Kelima, merendahkan harga
ekspor kepada perusahaan yang ada hubungan istimewa di luar negeri.
6.
Keenam, merendahkan penghasilan
pegawai atau pembayaran lainnya dalam rangka penghitungan PPh Pasal 21,
sementara di dalam perhitungan laba-rugi perusahaan ditinggikan untuk merendahkan
laba kena pajak (PPh Badan).
7.
Ketujuh, pembayaran dividen
kepada pemegang saham secara terselubung seolah-olah pembayaran utang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar